Headlines

“Target Capaian atau Angkat Tangan, Bu?” Garmen Wadaya Tim PKM-RSH UGM Bahas Isu Tuntutan Kerja dan Pendisiplinan terhadap Produktivitas Pekerja Manufaktur Wanita

Industri garmen Indonesia

Penulis: Fathia Zalfa Khairani

Industri garmen berhasil membuat namanya, mencatatkan diri sebagai penyumbang terbesar di dalam laporan Produk Domestik Bruto tahun 2022. Survei Tahunan Perusahaan Industri Manufaktur (STPIM) 2020 yang dilaksanakan Direktorat Statistik Industri juga menunjukkan kontribusi besar dari industri garmen, meraih persentase 7,31 persen dalam industri manufaktur di bawah industri makanan. Dalam hal ketenagakerjaan pun, usaha tekstil nyatanya menopang perputaran keuangan, menyerap tenaga kerja sebesar 12,65 persen dalam lingkup industri manufaktur Indonesia. Laporan tersebut tentunya memberikan gambaran kuat tentang pengaruh industri garmen, memutar roda perekonomian negara serta penghidupan bagi masyarakat Indonesia.

Namun nyatanya, di balik besarnya pasak ekonomi industri pakaian, seringkali tersimpan kenyataan pahit. Sebagai kebutuhan primer, tentunya tuntutan produksi yang optimal dan stabil sangat diharapkan oleh perusahaan serta kebutuhan konsumsi masyarakat. Demi memenuhi tuntutan tersebut, atasan cenderung diberi ekspektasi untuk meningkatkan kedisiplinan dan kinerja para pekerjanya. Namun, tindakan pendisiplinan yang dilakukan di industri garmen nyatanya kerap kali justru menjadi bumerang peningkat stres kerja.

Isu hak asasi manusia pekerja manufaktur seringkali muncul karena perilaku atasan yang cenderung berbahasa kasar, agresif, serta merendahkan. Topik tersebut semakin menumpuk dalam permasalahan lingkup pekerjaan yang sudah dikenal memiliki jam kerja cukup panjang serta tuntutan produksi yang tinggi setiap harinya. Hal ini tentunya akan membuat para pekerja rentan terhadap gangguan fisik dan mental yang dapat mempengaruhi mereka dalam jangka panjang.

Gambaran lingkungan kerja ini semakin mengkhawatirkan mengingat Industri garmen di Indonesia, berdasarkan International Labor Organisation (ILO) pada 2022, mempekerjakan 5.2 juta karyawan yang didominasi wanita sejumlah 58% dari total pekerja. Pada dasarnya, wanita sendiri sudah terindikasi lebih rentan terhadap stres. Hal ini semakin memberatkan pekerja wanita dimana mereka sendiri masih harus menghadapi isu ketidakadilan dalam memenuhi haknya di lingkungan kerja termasuk perbedaan gaji, pelecehan seksual, minimalnya dukungan medis, tempat kerja yang kotor, serta beban sosial yang lebih besar dengan adanya pandangan bahwa wanita sendiri berperan sebagai pengurus rumah tangga.

Isu multidimensional ini membuat Dyan Dhanandjaya Pambudi, Allodya Vanesh Marcella, M. Fazle Mawla Prajadiredja, dan Nur Latifah, sebagai bagian dari Psikologi 2022, serta Elin A. Wulandari dari Fakultas Ilmu Budaya Studi Sastra Indonesia 2022 tergerak untuk menegakkan pentingnya kesehatan jiwa raga dalam industri garmen Indonesia dengan mengangkat judul Dominasi Wanita dalam Industri Garmen: Tuntutan Kerja dan Pendisiplinan terhadap Produktivitas Pekerja Manufaktur Wanita.

Dari kiri ke kanan: Fazle, Nur Latifah, Allodya
Dari kiri ke kanan: Fazle, Nur Latifah, Allodya
(Sumber: Dokumen pribadi)

Menggunakan Mixed method sequential, tim PKM bertajuk Garmen Wadaya ini dilaksanakan selama empat bulan dibawah bimbingan Ardian Rahman Afandi, S.Psi., M.Psi., Psikolog selaku dosen dengan tujuan mengidentifikasi pengalaman pekerja wanita terhadap tindakan pendisiplinan yang dilakukan di pabrik garmen dan dampaknya terhadap produktivitas. Menggunakan LMX-MDM, Role of Stress, dan Individual Work Performance Questionnaire sebagai instrumen, diharapkan penelitian ini dapat dapat memberikan pemahaman yang lebih mendalam tentang dinamika antara tindakan pendisiplinan, stres kerja, dan kinerja, serta bagaimana pengalaman pekerja wanita berdampak terhadap produktivitas pekerja

Pengolahan data ini sendiri menggunakan banyak instrumen psikologi yang berhubungan dengan kinerja dan stres kerja. Dari yang didapatkan melalui kunjungan pabrik, angket survei, serta wawancara ini, didapat hasil data 208 partisipan pekerja garmen dewasa Jogja yang kemudian dianalisis dengan dua macam metode. Korelasi diberlakukan untuk menguji hubungan seluruh variabel terlibat (tindakan pendisiplinan, stres kerja, dan kinerja) dari data kuantitatif sementara data kualitatif diberlakukan analisis tematik. Terintegrasi oleh mixed method explanatory sequential, diharapkan terjadi pemahaman yang lebih mendalam mengenai dinamika antara tindakan pendisiplinan, stres kerja, dan kinerja serta dampaknya pada produktivitas kerja.

Berangkat dari fakta lapangan, hasil studi ini semakin mengkhawatirkan. Data studi yang didapatkan mempertegas pandangan tidak sehat tentang bagaimana pendisiplinan yang seharusnya dilakukan untuk meningkatkan kinerja malah berbalik menyerang pekerja. Hubungan yang muncul dalam hasil analisis korelasi Pearson menunjukkan signifikansi rendahnya skor kinerja yang berbanding terbalik dengan tingginya tingkat stres kerja.

Hasil penelitian kualitatif memberikan penelitian ini gambar nyata dimana dengan siklus dari ketujuh tema kronologis (Dinamika Lingkungan Kerja Pabrik Garmen, Hubungan Atasan dengan Bawahan, Dampak bagi Pekerja, Langkah yang sudah diambil Pekerja, Langkah yang dilakukan Pabrik, Alasan tetap bekerja di Pabrik Garmen, dan Dinamika Terkini Pabrik Garmen) ditemukan bahwa tindak pendisiplinan yang dilakukan atasan, baik supervisor, chief, maupun manager, memanfaatkan kekerasan verbal dengan harapan memenuhi target produksi dan efisiensi pada pekerja. Perlakuan pendisiplinan dengan cara ini nyatanya juga terjadi dengan tujuan menurunkan harga produksi, memenuhi target produksi yang tinggi, serta pengelolaan sumber daya yang kompetitif.

Namun, menyimpang dari tujuan tersebut, pendisiplinan yang terjadi nyatanya menimbulkan gejala gangguan mental seperti gangguan psikosomatis. Hal ini tentunya dikarenakan perlakuan yang meninggalkan kesan dan pengalaman buruk. Stres kerja yang terakumulasi ketakutan di bawah bayang-bayang cemoohan atasan pun terus meningkat akibat faktor eksternal seperti gaji yang rendah, kondisi kerja dan pabrik yang padat, kurangnya fasilitas kesehatan, dan tentunya perilaku tidak menyenangkan dari atasan. Hal ini sering kali membuat pekerjanya merasa ingin mengakhiri hidup demi melepas beban tersebut.

Tingginya kecemasan dan beban yang dibawa, ditambah dengan adanya batasan pada kemampuan biologis, membuat banyak dari gejala yang tadinya bersifat emosional merambah ke keluhan fisik. Hal ini tidak terbatas pada penyakit yang bersifat jangka panjang seperti asam lambung, dehidrasi, keguguran, dan kecelakaan setelah lembur karena tidak dapat fokus dalam perjalanan. Sedihnya, hal ini seakan dianggap umum bahkan ditoleransi. Target capaian yang tinggi juga membuat fenomena kencing berdarah sering terjadi karena para pekerja harus menahan kencing demi memenuhi target produksi.

Dalam kondisi ini, tentunya banyak yang berkeinginan untuk ‘kabur’ dan melepas pekerjaannya. Namun sayangnya, tuntutan kebutuhan keluarga adalah hal yang tidak bisa diganggu gugat. Hal ini menghasilkan lingkaran setan yang terus berputar dalam ekonomi masyarakat, membuatnya terasa lumrah meskipun perlakuan baik tetap menjadi harapan.

Garmen Wadaya menekankan perlunya pendekatan manajemen yang lebih bijaksana, terlebih lagi dalam perlakuan pekerja industri garmen yang memperhatikan baik dinamika hubungan pekerja dengan atasan (LMX) maupun kesejahteraan psikologis pekerja demi mengoptimalkan kinerja. Pemerintah juga harus bekerja sama dengan pemilik pabrik, dinas ketenagakerjaan, dan organisasi internasional untuk membuat sistem yang mampu mengawasi produktivitas dan kesejahteraan pegawai sehingga nantinya masyarakat dapat melihat perbaikan dalam hak asasi pegawai.

Sampai saat itu tiba, dimana pekerja diperlakukan dengan berperikemanusaan, industri manufaktur masih akan berada dalam wajah suram, dianggap sebagai uji mental bagi karyawan yang berani memasukinya.