Headlines

Eksplorasi Memori dan Identitas Diri dalam Eternal Sunshine of The Spotlesss Mind

Judul: Eternal Sunshine of The Spotless Mind

Genre: Drama, Romance, Scifi

Tahun: 2004

Sutradara: Michael Gondry

Durasi: 108 menit (1 jam 48 menit)

Pemeran: Jim Carrey, Kate Winslet, Kirsten Dunst, Tom Wilkinson, Mark Ruffalo, Elijah Wood

 

How happy is the blameless vestal’s lot. The world forgetting, by the world, forgot. Eternal sunshine of the spotless mind! Each prayer accepted, and each wish resigned.” — Alexander Pope

 

Film ini menceritakan tentang karakter Joel (Jim Carrey) yang memutuskan untuk menghapus memori tentang kekasihnya, Clementine (Kate Winslet), setelah menemukan bahwa Clementine telah menghapusnya dari memori. Joel kemudian mendatangi Lacuna Inc, sebuah perusahaan yang membantu orang-orang untuk menghapus memori dan “memulai kembali”. Sebagian besar adegan di film ini berlatar di alam bawah sadar Joel, di mana Joel akan menemukan satu per satu kenangannya bersama Clementine yang mulai terhapus. Namun, di tengah prosedur, Joel rupanya tidak menerima penghapusan memori itu. Ia merasa bahwa kenangannya bersama Clementine layak untuk dipertahankan. Akhirnya, Joel dan Clementine berusaha lari dari satu memori ke memori lain untuk menghindari prosedur, meskipun pada akhirnya, memorinya tentang Clementine berhasil dihapus.

 

Film dengan naskah garapan Charlie Kaufman ini berhasil menunjukkan bahwa memori sejatinya adalah bagian yang tak terpisahkan dalam kehidupan kita. Memori yang menyenangkan atau bahkan memori yang menyakitkan pun sejatinya membentuk pribadi kita saat ini.  Tanpa kenangan buruk, kita akan sulit untuk belajar dan bertumbuh menjadi lebih baik. Menghapus memori buruk pun tidak selalu berakhir baik. Dalam film ini, kita bisa melihat betapa Clementine yang semula ingin terbebas dari kebosanan saat bersama Joel, akhirnya merasa begitu kacau tak mengenali dirinya sendiri lantaran memorinya bersama Joel–yang sejatinya berkontribusi membentuk pribadinya–telah sirna.

 

Tidak hanya itu, film ini juga menjelaskan kompleksitas sebuah hubungan. Menilik pribadi Clementine yang aktif dan berapi-api, berbeda dengan Joel yang pendiam dan sensitif, hubungan keduanya pun selalu naik turun dan penuh pertengkaran. Namun, sebuah hubungan memang tidak selalu harus bahagia-bahagia saja. Di akhir film, kita bisa melihat bahwa Joel dan Clementine dapat menerima kenyataan bahwa hubungan mereka bisa saja bermasalah suatu hari. Hubungan adalah bagian dari proses pertumbuhan, dua individu idealnya dapat belajar dan bertumbuh bersama, serta terus mengupayakan untuk mempertahankan hubungan, tidak kemudian lari dan bertindak seakan-akan hubungan tersebut tidak ada artinya. 

 

Lebih lanjut, film ini berhasil membuktikan kekuatan cinta sebagaimana yang dikatakan oleh banyak orang: cinta bisa memunculkan hal-hal dan tindakan yang tak masuk akal Meskipun memori Joel dan Clementine terhadap satu sama lain telah terhapus, tetapi akhirnya keduanya tetap bertemu kembali dan menjalin hubungan seperti sedia kala. Dalam alam bawah sadar Joel, Clementine sempat berbisik “Meet me in Montauk” sebelum memori tentangnya terhapus seutuhnya. Kalimat dari alam bawah sadar itulah yang kemudian menuntun Joel untuk ke Montauk, kembali menemukan Clementine, dan siapa sangka keduanya begitu cepat terikat secara emosional. Yang lebih mengejutkan lagi, ternyata keduanya tidak hanya dua kali menjalin hubungan, melainkan berkali-kali. Ini menunjukkan bahwa cinta tidak hanya produk memori dalam kognitif–begitu dihapus, lantas hilang–melainkan berakar dalam pengalaman emosional yang mendalam. Dalam film, bukan hanya Joel dan Clementine yang terhubung kembali, hal sama juga terjadi pada Mary (Kirsten Dunst) dan Howard (Tom Wilkinson), yang ternyata sebelumnya pernah menjalani hubungan sebelum memory Mary akan Howard dihapus. 

 

“Eternal Sunshine of The Spotless Mind” adalah karya sinematik luar biasa yang hadir untuk menjadi pengingat bahwa memori, dengan segala ketidaksempurnaan dan rasa sakit yang dibawanya, adalah bagian yang membentuk pribadi kita apa adanya. Menghapus memori mungkin memberikan kita kelegaan sesaat, tetapi pada akhirnya kita harus mengorbankan pertumbuhan pribadi dan dinamika hubungan kita dengan orang lain. Film ini mendorong kita semua untuk menerima kerumitan kenangan masa lalu, karena dari sanalah kita menemukan esensi akan identitas diri.