Headlines

True or False? Mari Berbincang soal Memori

Pernahkah kamu merasa mengingat sesuatu yang sebenarnya tidak pernah terjadi? Namun sebelumnya, dari mana kamu tahu mana informasi yang nyata atau hanya ingatan palsu belaka?

False memory atau ingatan palsu merupakan proses psikologis di mana seseorang mengingat suatu informasi yang sedikit atau jauh berbeda dari kejadian asli maupun kejadian yang bahkan sebenarnya tidak pernah terjadi, tetapi ingatan tersebut mengandung informasi yang pernah didapatkan sebelumnya (Permata, 2021). Fenomena ini tidak terpaku hanya pada hal-hal besar saja, tetapi dapat berupa detail kecil yang dipengaruhi oleh penerimaan sugesti, hoaks, serta kesalahan atribusi atau penafsiran yang salah atas perilaku seseorang (Storbeck & Clore, 2005).

Mengetahui perbedaan antara ingatan yang benar dan keliru menjadi tantangan bagi  banyak peneliti psikologi kognitif, bahkan Bernstein dan Loftus (2009, dalam Shaw, 2020) mengemukakan dalam tinjauan literatur mereka bahwa pada dasarnya belum ada cara neurofisiologis, psikologis, maupun teknologi yang reliabel untuk membedakan antara ingatan yang benar dan yang salah. Pihak yang mengalami sendiri ingatan palsu itulah yang dinilai mampu mengetahui lebih baik apakah mereka yakin benar mengingat sesuatu, merasa tidak dapat mengingat sesuatu, atau sengaja berbohong akan kejadian yang sebenarnya.

Satu hal yang perlu diperhatikan adalah bahwa ingatan palsu berbeda dengan kesalahan ingatan sederhana. Seseorang yang memiliki ingatan palsu yakin akan kebenaran ingatannya yang mungkin saja hanyalah rekayasa khayalan atau ingatan yang menyimpang dari peristiwa nyata. Selain itu, adanya ingatan palsu bukan berarti seseorang melupakan sesuatu yang sebenarnya telah terjadi, melainkan mengingat apa yang pada kenyataannya belum pernah terjadi (Perera, 2022). 

Fenomena false memory dapat meliputi hal-hal kecil dalam kehidupan sehari-hari, seperti salah mengingat warna kendaraan hingga mengingat secara keliru pesan yang disampaikan oleh lawan bicara di pertemuan sebelumnya. Namun, kekeliruan memori ini juga dapat menimbulkan konsekuensi yang lebih serius, misalnya pada hal yang berhubungan dengan keterangan atau kesaksian saksi mata di pengadilan.Brainerd dan Reyna (2005, dalam Permata, 2021) menggarisbawahi salah satu bentuk false memory yang besar kemungkinan dapat dipicu oleh pertanyaan atau pernyataan yang memberi sugesti secara langsung maupun tidak langsung pada saksi mata saat mengingat kembali informasi. Ingatan keliru tersebut tidak hanya melulu bersangkutan dengan proses kejadian perkara, tetapi juga dapat memengaruhi pengidentifikasian pelaku kejahatan oleh saksi mata.

Beberapa hal dapat kita lakukan untuk meminimalisasi terjadinya false memory di keseharian kita. Langkah sederhana seperti mengekspresikan apa yang ada di pikiran dan menulis catatan dapat dilakukan untuk mengingat dengan lebih baik. Kita juga perlu mempraktikkan pola hidup yang sehat dengan istirahat cukup serta melatih pernapasan sebagai upaya menekan potensi timbulnya false memory.

Penulis

Nafiadara Rafifa

 

Referensi

Perera, A. (2022). False memory in psychology: Examples & more. Simply Psychology. https://www.simplypsychology.org/false-memory.html 

Permata, A. M. I., & Qoyyimah, N. R. H. (2021). False Memory pada Manusia: Sebuah Tinjauan Literatur. Seminar Nasional Psikologi Dan Ilmu Humaniora (SENAPIH), 1(1), 22–27. http://conference.um.ac.id/index.php/psi/article/view/1219 

Shaw, J. (2020). Do false memories look real? Evidence that people struggle to identify rich false memories of committing crime and other emotional events. Frontiers in Psychology, 11. https://doi.org/10.3389/fpsyg’/.2020.00650

Storbeck, J., & Clore, G. L. (2005). With sadness comes accuracy; With happiness, false memory: Mood and the false memory effect. Psychological Science, 16(10), 785–791. https://doi.org/10.1111/j.1467-9280.2005.01615.x