Headlines

Efek Plasebo: Fakta Ilmiah Dibalik Penyembuhan Tanpa Obat

Penulis: Najwa Fauzia

Teman-teman pernah denger nggak, sih cerita tentang seseorang yang merasa sembuh setelah meminum pil yang ternyata hanya berisi gula? Peristiwa ini bukanlah suatu keajaiban, melainkan hasil dari sesuatu yang bernama “efek plasebo”. Penelitian mengenai efek plasebo telah menunjukkan betapa kuatnya peran pikiran dalam proses penyembuhan. Dari pengobatan sederhana hingga prosedur medis yang lebih kompleks, efek plasebo membuktikan bahwa keyakinan seseorang dapat memengaruhi hasil kesehatan mereka.

Efek plasebo merupakan fenomena ketika seseorang mengalami peningkatan kondisi kesehatan hanya karena mereka percaya bahwa perawatan yang diberikan akan efektif, meskipun perawatan tersebut sebenarnya tidak mengandung bahan aktif apapun. Penelitian modern tentang efek plasebo dimulai pada abad ke-20, dengan eksperimen pertama yang dilakukan oleh dokter anestesiolog, Henry K. Beecher, pada tahun 1955 yang menunjukkan bahwa plasebo dapat menghasilkan perbaikan nyata dalam 35% kasus pengobatan (Beecher, 1955). Temuan ini memperkuat pentingnya efek placebo dalam penelitian medis dan psikologis, serta membantu kita memahami mekanisme psikobiologis di balik persepsi kesehatan.

Penelitian terkini telah mengungkap apa dasar neurobiologis dari efek plasebo. Dua mekanisme psikologis yang diduga memediasi efek plasebo adalah pengondisian klasik dan ekspektasi (Munnangi et al., 2023). Pengondisian klasik adalah bentuk pembelajaran ketika asosiasi terbentuk antara suatu stimulus dan respons. Asosiasi ini kemudian diingat dan memengaruhi pengalaman di masa depan. Misalnya, jika seseorang sebelumnya merasakan nyeri yang berkurang setelah mengonsumsi obat pereda nyeri, maka ia akan mengalami pengurangan nyeri juga ketika menerima pil plasebo yang mirip dengan obat tersebut karena asosiasi ini sudah terbentuk.

Ekspektasi pasien juga memainkan peran penting dalam memediasi efek plasebo. Keyakinan atau harapan pasien tentang manfaat dari plasebo dapat memengaruhi respons mereka terhadap perawatan. Contoh, jika seseorang percaya bahwa plasebo adalah obat pereda nyeri yang efektif, mereka mungkin merasakan pengurangan nyeri sebagai hasil dari keyakinan tersebut, bukan karena adanya zat aktif.

Beberapa studi menunjukkan bahwa dalam uji klinis untuk nyeri kanker dan neuropatik, pengobatan farmakologis mengalami kegagalan lebih dari 90% dalam 10 tahun terakhir  (Bartfai, 2011, sebagaimana dikutip dalam Colloca, 2019). Penelitian di laboratorium menunjukkan bahwa efek plasebo telah dieksplorasi pada populasi dengan nyeri kronis dari berbagai gangguan, seperti nyeri yang penyebabnya tidak diketahui, nyeri saraf, nyeri punggung, osteoartritis lutut, sindrom iritasi usus, fibromyalgia, dan migrain (Colloca, 2019). Temuan eksperimen menunjukkan bahwa faktor-faktor seperti jenis stimulasi nyeri dan durasinya dapat memengaruhi seberapa besar efek plasebo yang dirasakan oleh seseorang. Selain itu, faktor seperti harga (produk dengan harga lebih tinggi cenderung memiliki efek plasebo yang lebih besar) dan label (generik versus obat bermerek) juga memengaruhi besar kecilnya efek plasebo serta efek samping yang dirasakan. Ekspektasi dan efek placebo juga dapat menyumbang hingga 50% dari efektivitas perawatan nyeri, baik dengan obat-obatan opioid maupun non-opioid, seperti buprenorphine, tramadol, ketorolac, dan metamizol (Colloca, 2019). 

Namun, penggunaan efek plasebo dalam pengobatan dapat menimbulkan pertanyaan etis. Beberapa orang khawatir bahwa menggunakan plasebo bisa dianggap menipu pasien. Merekomendasikan atau memberikan intervensi plasebo kepada pasien dengan cara yang menipu, seolah-olah itu adalah terapi yang memiliki efikasi khusus untuk kondisi mereka, termasuk ke dalam suatu pelanggaran prinsip informed consent dan dapat merusak kepercayaan yang merupakan inti dari praktik klinis. Akan tetapi, karena telah terbukti bahwa efek plasebo sudah melekat dalam perawatan klinis rutin, penting untuk menciptakan pertemuan klinis yang mendukung dan mempromosikan harapan positif sembari tetap mengungkapkan manfaat yang diharapkan dari terapi medis yang direkomendasikan. Upaya untuk memahami dan memanfaatkan fitur-fitur dari pertemuan klinis guna meningkatkan efek plasebo secara etis dan tanpa menipu merupakan langkah yang dapat memperbaiki hasil klinis secara efektif (Finniss et al., 2010).

 

 

Referensi:

BEECHER H. K. (1955). The powerful placebo. Journal of the American Medical Association159(17), 1602–1606. https://doi.org/10.1001/jama.1955.02960340022006

Colloca L. (2019). The placebo effect in pain therapies. Annual review of pharmacology and toxicology, 59, 191–211. https://doi.org/10.1146/annurev-pharmtox-010818-021542 

Finniss, D. G., Kaptchuk, T. J., Miller, F., & Benedetti, F. (2010). Biological, clinical, and ethical advances of placebo effects. Lancet (London, England), 375(9715), 686–695. https://doi.org/10.1016/S0140-6736(09)61706-2 

Munnangi S, Sundjaja JH, Singh K, et al. Placebo Effect. [Updated 2023 Nov 13]. In: StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2024 Jan-. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK513296/