Headlines

Bagaimana Pengalaman dan Pola Asuh Orang Tua Memengaruhi Self-Esteem dan Keberhasilan anak?

 

Orang yang memiliki self-esteem yang baik

Kamu pernah, gak, sih ketemu sama orang yang mudah move on sama pengalaman negatif atau pengalaman memalukan yang pernah terjadi di masa lalu? Atau dengan orang yang berani menolak sesuatu yang memang tidak diinginkannya? Mereka gigih mencapai tujuan dan bisa lebih tangguh dalam mengatasi stres serta mampu menjalin hubungan yang sehat dan cenderung mampu keluar dari hubungan yang toxic. Kita pasti maunya menjadi pribadi seperti itu, kan? Orang-orang seperti itu biasanya memiliki self-esteem yang baik sehingga mampu berpegang teguh pada nilai yang mereka miliki. Self-esteem itu seperti harga diri yang merupakan hasil dari evaluasi individu terhadap dirinya berdasarkan pengalaman yang pernah dialami. Maslow mendefinisikan self-esteem atau harga diri sebagai perasaan pribadi seseorang bahwa dirinya bernilai atau bermanfaat bagi orang lain. Orang yang memiliki self esteem tinggi ini biasanya lebih percaya diri serta akan mampu menjalani kegiatannya dengan berhasil. Sebaliknya, orang yang memiliki self-esteem rendah akan diliputi rasa rendah diri dan tidak percaya akan kemampuan yang dimiliki serta memiliki kesulitan ketika berinteraksi dengan orang lain. Sebenarnya dampak dari rendahnya self-esteem ini sangat kompleks dan akan banyak memengaruhi kehidupan seseorang ke depannya. 

Self-esteem berkembang dari waktu ke waktu. Pengalaman dan pola asuh orang tua memiliki peran yang besar dalam mempengaruhi perkembangan identitas diri dan tinggi rendahnya self-esteem. Makanya orang yang suka minder juga tidak percaya diri dengan kemampuannya sendiri sering cemas dan sulit membentuk hubungan yang dekat dengan orang lain. Jika ditelisik dari pengalaman masa kecilnya, bisa jadi orang tuanya dulu kurang peduli dengan self-esteemnya. Misalnya saja, ada anak SD bernama Ani. Ibunya sering membandingkan dirinya dengan teman sekelasnya yang pintar matematika. Ibunya merasa tidak cukup dengan prestasi Ani di ilmu eksak. Padahal ternyata minat dan bakat Ani ada di seni lukis. Ibunya juga sering mencela dan tidak pernah mau mendengarkan ketika Ani curhat kepadanya. Yang ada, ibunya selalu menuntut Ani tanpa mau mendengarkan keluh kesah Ani. Hal tersebut terjadi hingga Ani dewasa. Ketika dewasa, Ani menjadi pribadi yang tidak percaya diri, selalu cemas jika memulai hal baru dan kesulitan membangun hubungan dengan orang lain. Bisa kita lihat betapa pola asuh orang tua sangat menentukan self-esteem yang menentukan kehidupan sang anak ke depannya. 

 

Pola asuh orang tua dan dampaknya terhadap self-esteem

Lalu pola asuh seperti apa, sih, yang terbaik dan yang seharusnya kita terima sebagai seorang anak? Sebenarnya pertanyaan ini sedikit kejam, mengingat orang tua juga manusia yang tidak sempurna, sama seperti kita sebagai anak yang masih banyak kekurangan dan sedang berusaha menjadi lebih baik setiap harinya. Seorang peneliti, Diana Baumrind (1967) membagi beberapa gaya pengasuhan orang tua yang bisa membentuk kepribadian anak. 

Menerima, Responsif Menolak, Tidak Responsif
Menuntut, Mengontrol Authoritative Authoritarian
Tidak Menuntut, Tidak Mengontrol Indulgent Neglectful

1. Authoritative

Ciri orang tua yang punya metode pola asuh authoritative ini adalah hangat tapi tegas. Pola asuh ini mengombinasikan kontrol dan dukungan emosional orang tua terhadap anak secara seimbang. Komunikasi yang terjalin pada tipe ini adalah komunikasi dua arah yang supportive yang memungkinkan anak bisa berdiskusi dengan orang tuanya. Orang tua juga memberikan feedback kepada anak agar anak berkembang. Pola asuh ini dipercaya dapat membuat anak bisa merasa aman, bisa mudah menerima, mandiri, bertanggung jawab, dan tentunya memiliki self-esteem yang baik.

2. Authoritarian

Orang tua yang menggunakan pola asuh ini punya tuntutan yang tinggi, tetapi hampir tidak memberikan feedback kepada anak.  Selain memberi hukuman jika anak tidak patuh, komunikasi antara anak dan orang tua pada tipe ini tidak terjalin dengan baik karena adanya batasan komunikasi verbal. Mereka ingin anak patuh tanpa mempertanyakan ini-itu. Anak dari pola asuh ini biasanya terus menerus merasa harus mencapai kesempurnaan, tetapi merasa dirinya tidak pernah mampu dan menjadi rendah diri ketika tidak berhasil memenuhi ekspektasi orang tuanya. Selain itu, kemampuan komunikasi anak juga menjadi rendah.

3. Indulgent

Tipe orang tua dalam pengasuhan ini adalah terlalu cinta pada anaknya sampai-sampai “buta”. Orang tua memberikan kebebasan dan biasanya orang tua berusaha memberikan semua yang si anak inginkan serta sulit mengatakan “tidak” pada anaknya. Selain itu, orang tua juga suka membantu sang anak secara berlebihan ketika anak mengalami kesulitan. Model seperti ini membuat si anak senang, tetapi menjadi tidak peduli dengan dampak akhir bagi si anak. Anak dari model pengasuhan ini biasanya kurang inisiatif dalam hidupnya karena terbiasa “disuapin”, memiliki kontrol diri yang buruk, jarang belajar menghargai orang lain, dan lain sebagainya.

4. Neglectful

Tipe orang tua dalam pengasuhan ini ialah menolak, mengabaikan, dan tidak banyak hadir dalam kehidupan anak. Orang tua tipe ini meyakini bahwa peran orang tua hanya sebatas untuk memenuhi kebutuhan dasar si anak. Hal ini berakibat pada kurangnya kepedulian orang tua pada aspek psikologis si anak yang akan mempengaruhi perkembangan emosi, sosial, dan self-esteem-nya. Anak dari model pengasuhan ini biasanya sulit membentuk hubungan yang dekat dengan orang lain, merasa kesepian, dan sulit menemukan identitas diri karena tidak adanya role model yang bisa mengajari nilai-nilai kecil. Lebih parah lagi, anak model pengasuhan ini bisa terjebak dalam kenakalan remaja karena mereka mencari tempat yang bisa menerima dan senasib dengannya.

Itu tadi adalah macam-macam pola asuh orang tua yang dapat menentukan kepribadian dan self-esteem si anak. Jadi, pola asuh orang tua seperti apa yang terbaik? Satu hal yang perlu diingat, bahwa praktik pengasuhan ini kembali pada situasi dan nilai budaya yang dipegang oleh keluarga. Seperti yang disebutkan tadi, orang tua juga manusia yang tidak sempurna, sama seperti kita sebagai anak yang masih banyak kekurangan dan sedang berusaha menjadi lebih baik setiap harinya. Bisa jadi orang tua kita adalah korban dari pola asuh orang tuanya (kakek-nenek kita) dan mereka belum tahu caranya untuk berdamai dengan masa kecil sehingga memberi dampak buruk kepada anaknya. Luka masa kecil yang tidak selesai bisa menularkan luka lain kepada diri sendiri atau bahkan orang lain. Jadi mungkin orang tua kita tidak bermaksud untuk melukai kita, hanya saja mereka tidak tahu cara yang tepat. Mungkin tulisan ini bisa sedikit membantu kita untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama dari orang tua kita.

 

Penulis: Rinta Anjani Oktafiani

Editor: Kiara Bunga Bening Hati

 

Referensi:

Khairunnisa, H. (2017). Self Esteem, Self Awareness dan Perilaku Asertif pada Remaja.  Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Malang. 

Mohamad, A. (2021). What’s So Wrong About Your Self Healing. Alvi Ardhi Publishing.

Prasetiyo, R. (2018). Pengaruh Pola Asuh Orang Tua dengan Self Esteem Remaja. Bravo’s Jurnal, 6 (3).