Headlines

Patriarki dan Nirempati di Tengah Maraknya Kasus Non-Consensual Intimate Imagery (NCII)

Tubuh perempuan selalu memasuki hiruk-pikuk pembahasan di segala ranah. Dengan demikian, tidak ada diskursus yang memiliki daya tanding lebih dari diskursus tentang tubuh perempuan.

Hampir 166 tahun telah berlalu sejak dipublikasikannya kisah The Scarlet Letter. Namun, tampaknya masyarakat kita belum banyak berubah. Bahkan jauh sebelum zaman hidupnya Nathaniel Hawthorne, pengucilan terhadap wanita karena keterlibatan mereka dalam perilaku seks telah dianggap sebagai hal yang lumrah untuk dijadikan hiburan massal.

Dalam karyanya, Hawthorne menceritakan kisah tentang Hester Prynne, seorang wanita yang dikenai sanksi sosial karena telah berhubungan seks sebelum menikah. Berbanding terbalik dengan pasangan laki-lakinya yang terhindar dari imbas negatif publik, Hester dipaksa oleh warga untuk mengenakan kain bertuliskan huruf “A” (adulterer) ke mana pun bepergian sebagai simbol dari perzinahan yang telah diperbuatnya. Hukuman ini dimaksudkan untuk mempermalukan Hestermendehumanisasikan dirinya menjadi tidak lebih dari sekadar seorang pendosa. 

Kini, kisah serupa banyak terulang kembali. Dalam beberapa dekade terakhir, peningkatan penggunaan teknologi informasi dan komunikasi merupakan aktivitas yang tak dapat lagi dibendung. Telah tercipta ruang yang memudahkan publik untuk berbondong-bondong menghakimi sesama tanpa harus khawatir akan konsekuensi negatif yang dapat menimpa diri sendiri maupun orang lain. Di era kontemporer, huruf “A”, serupa dengan apa yang diusung oleh Hester, termanifestasi dalam bentuk cuitan-cuitan nirempati yang berseliweran di media sosial, salah satunya untuk menunjang tindakan victim blaming terhadap korban kejahatan Non-Consensual Intimate Imagery (NCII) atau yang lebih sering dikenal dengan istilah revenge porn.

Apa itu NCII?

Term “NCII mengacu pada gambar atau video seksual yang diambil, dipublikasikan, atau diedarkan tanpa izin dari satu orang atau lebih di dalam dokumentasi tersebut. Menurut laporan Komnas Perempuan dalam Catahu 2022, NCII masuk ke dalam tiga belas kategori Kekerasan Siber Berbasis Gender (KSBG) dengan jumlah terbanyak sepanjangan tahun 2021. Di tahun 2021,  Komnas Perempuan telah mendapat sebanyak 71 laporan kasus NCII. Namun, seperti halnya kekerasan berbasis gender lain di Indonesia, angka tersebut hanyalah “puncak dari gunung es” karena tentu ada banyak kasus lain yang tidak dilaporkan dan menjadi dark number. Berdasarkan riset dari Cyber Civil Rights Initiative, mayoritas yang terdampak NCII adalah perempuan, tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa laki-laki juga bisa menjadi korban.

 

Kenapa istilahnya bukan lagi “revenge porn”?

Kejahatan ini biasanya dilakukan oleh seseorang kepada mantan pasangannya dengan maksud untuk membalas dendam atas berakhirnya hubungan mereka. Walaupun kita sudah lebih familiar dengan istilah revenge porn, terdapat penolakan universal terkait istilah ini di kalangan para aktivis dan peneliti.  Hal ini disebabkan, penggunaan kata “revenge” yang konteksnya adalah balas dendam tidak selalu tepat. Pelaku juga bisa melancarkan aksinya tanpa berlandaskan balas dendam, tetapi juga karena pemerasan atau pemaksaan untuk mendapat keuntungan finansial atau karena telah melakukan pembobolan perangkat atau hacking. Selain itu, kata “porn” juga dianggap turut menyesatkan, mengingat gambar dan video seksual yang diambil lalu didistribusikan tanpa izin bukanlah wujud produksi pornografi yang bisa menjadi konsumsi publik, melainkan sebuah tindak kejahatan. Oleh karena itu, diciptakanlah kosakata alternatif yang jauh lebih akurat oleh Coding Rights dan InternetLab yang kemudian kita kenal sebagai Non-Consensual Dissemination of Intimate Images (NCII) atau Diseminasi Gambar Intim Tanpa Persetujuan.

 

Kejahatan yang Diwajarkan

Tindakan NCII merupakan serangan terhadap privasi dan martabat seseorang. Sebagai pihak yang dirugikan, korban NCII seharusnya mendapat perlindungan hukum dan pendampingan psikologis yang memadai. Alih-alih mendapat keadilan, mereka justru kerap disalahkan atas kejahatan yang menimpa mereka. Di dalam kajian viktimologi, fenomena ini dikenal dengan istilah victim blaming.

Sebagai buah dari patriarki, victim blaming seringkali terjadi sebagai reaksi publik terhadap perempuan yang berperilaku bertentangan dengan norma-norma seksual yang telah ditetapkan di masyarakat. Ketika seorang perempuan menjadi korban NCII, ia bisa secara tidak adil disalahkan dan dijatuhi hukuman moral yang berakar dari pandangan tradisional bahwa perempuan seharusnya menjaga “kehormatan” mereka dan tidak melakukan perilaku yang “tidak pantas”.

Jika diulik dari sisi psikologis, victim blaming terjadi karena cognitive dissonance (disonansi kognitif). Disonansi kognitif merupakan peristiwa yang bisa muncul ketika kita mempelajari informasi baru yang tidak sesuai dengan kepercayaan yang kita miliki selama ini. Secara ideologis, kita menganggap bahwa laki-laki di masyarakat pastinya akan selalu menghormati wanita. Namun, kenyataannya hal itu tidak selalu benar. Saat kasus NCII terjadi, kepercayaan yang kita miliki selama ini terbukti tidak benar. Namun, alih-alih merubah kepercayaan yang telah kita miliki, kita mencoba menginternalisasi kepada diri sendiri bahwa masyarakat kita sebenarnya menghormati wanita, tetapi wanita sendirilah yang memprovokasi orang lain untuk untuk berperilaku buruk. Alhasil, timbullah tindak victim blaming.

Pada bulan Agustus 2012, foto syur Pangeran Harry dibocorkan ke media. Ia tidak sama sekali diberi tekanan oleh publik untuk meminta maaf atas kehidupan seksnya, melainkan banyak orang memujanya dan memberinya label “legendaris”. Reaksi publik tentu akan sangat berbeda jika hal serupa terjadi dengan seorang perempuan. 

Pemerkosaan tidak terjadi karena si pelaku “kehilangan kontrol” atas diri mereka. Pemerkosaan justru terjadi karena si pelaku merasa berkuasa atas tubuh korbannya. Pelaku dimotivasi oleh hasrat ingin berkuasa serta kebutuhan untuk mengukuhkan stereotip gender yang menempatkan kedudukan perempuan di bawah laki-laki (Bates, 2017). Sebagaimana pemerkosaan, NCII juga didasarkan pada motif serupa. Laki-laki yang menyebarkan foto mantan kekasihnya bisa menikmati kekuasaan atas diri si perempuan dan penderitaan yang disebabkannya terhadap si perempuan.

Maraknya kasus victim blaming terhadap korban NCII menyoroti realitas tentang betapa kontroversialnya seksualitas seorang perempuan dan sejauh mana platform digital dapat menunjang refleks seksisme oleh publik. Pusat kesalahan diletakkan kepada korban yang mau berhubungan seks atau mau mengirimkan foto syur kepada pasangan, ketika yang seharusnya dipermasalahkan adalah wewenang diri si korban yang telah direnggut secara paksa dan kepercayaan mereka yang telah dirusak oleh sang pelaku. Membagikan konten seksual kepada seseorang tidak sama dengan memperbolehkan orang tersebut untuk membagikannya kembali kepada publik. Tindakan NCII tidak akan hilang dengan melarang orang untuk membagikan konten seksualnya pada orang lain. Kejahatan ini baru akan hilang ketika tidak ada lagi relasi kuasa antara laki-laki dan perempuan, saat tidak ada lagi ketidaksetaraan kekuasaan antara kedua gender tersebut. Namun, tak dapat dipungkiri bahwa kesetaraan gender merupakan salah satu cita-cita bangsa yang tampaknya masih jauh di angan-angan. Hal paling minim yang bisa kita lakukan sekarang adalah memiliki empati.

Terjadinya NCII bukan hanya soal penyebaran gambar intim. Ketika kekuasaan seseorang atas tubuh mereka direnggut, korban kini harus dipaksa hidup sebagai properti komunal. Ironisnya, orang-orang yang paling “bermoral” dan menghakimi perempuan yang “tidak bermoral” karena telah berhubungan seks kerap menjadi pihak yang paling pertama mengeksploitasi situasi ini. Ungkapan “Share link, dong!” menjadi kalimat yang tidak lagi asing didengar. Seolah diwajarkan, pembagian link video syur justru dianggap “pemersatu bangsa”. Hal ini tidak hanya dilakukan oleh laki-laki ke perempuan, tetapi juga oleh perempuan kepada perempuan lain.
Luka batin yang ditimbulkan pada korban NCII melampaui ranah digital dan dapat menghantui mereka seumur hidup. Banyak dari mereka hidup dengan bayang-bayang kecemasan yang tak kunjung mereda, depresi, gangguan stres pasca-trauma, sampai keinginan untuk mengakhiri hidup, berjuang untuk mendapatkan setitik saja rasa kendali atas hidup mereka. Pernahkah kita merenungkan seberapa jauh kita telah jatuh sebagai manusia? Ikut serta dan menyaksikan sembari mereka mengalami siksa batin yang tak terkatakan. Ikut serta dan menyebarluaskan sembari hak asasi mereka dirampas dalam ketidakadilan. Sejatinya, semua orang bisa menjadi korban. Seharusnya kita bisa tergerak untuk bersama-sama membangun ruang aman. 

Laporkan dan berhenti di kamu!

 

Referensi

ALB, R. (2017, November 27). Revenge Porn: Same Old Sexism, New Medium. Aliansi Laki-Laki Baru; Aliansi Laki-laki Baru. https://lakilakibaru.or.id/revenge-porn-old-sexism-new-medium/?lang=en

Bates, S. (2017). Revenge Porn and Mental Health: A Qualitative Analysis of the Mental Health Effects of Revenge Porn on Female Survivors – Samantha Bates, 2017. Feminist Criminology. https://journals.sagepub.com/doi/abs/10.1177/1557085116654565

Derita Korban Revenge Porn: Trauma hingga Tak Mendapat Perlindungan Hukum. (2022, June 14). Asumsi. https://www.asumsi.co/post/58608/derita-korban-revenge-porn-dari-trauma-hingga-minimnya-perlindungan-hukum/

Kampanye, dan. (2021, August 6). Revenge Porn dan Kampanye “Stop Sexting” yang Membahayakan | GEOTIMES. GEOTIMES. https://geotimes.id/opini/revenge-porn-dan-kampanye-stop-sexting-yang-membahayakan/

Revenge Porn dan Victim Blaming: Rumitnya Penanganan KGBO di Indonesia | The Columnist. (2023). The Columnist. https://thecolumnist.id/artikel/revenge-porn-dan-victim-blaming-rumitnya-penanganan-kgbo-di-indonesia-2407

Rizal Amril. (2023, June 6). Revenge Porn: Istilah Problematik dan Cara Menghadapi Penyebaran Konten Intim Non-Konsensual. Narasi Tv; Narasi TV. https://narasi.tv/read/narasi-daily/revenge-porn

William, T. (2013, January 28). Fighting Revenge Porn – How to Fight Back Against Revenge Porn? Reputation Management. https://www.reputationrhino.com/fighting-revenge-porn/