Headlines

Mahasiswa Universitas Gadjah Mada Prakarsai Aksi Demonstrasi Penolakan Penerapan Kebijakan Uang Pangkal

Pada 13 Maret 2023 berlangsung, aksi demonstrasi terkait penolakan penerapan kebijakan uang pangkal yang diprakarsai oleh mahasiswa Universitas Gadjah Mada dari berbagai fakultas dan sekolah vokasi.

Kekhawatiran mahasiswa akan pengadaan uang pangkal bermula dari kebijakan SSPI atau Sumbangan Sukarela Pengembangan Institusi yang diberlakukan mulai Juli 2022 ketika mahasiswa baru yang lolos lewat jalur CBT-UM dipersilakan mendonasikan biaya pendidikan awal di samping UKT sesuai kesediaannya, termasuk pilihan mengeluarkan dana sebesar nol rupiah. Isu tersebut kemudian berlanjut ke Hearing Rektorat yang diadakan pada 13 Desember 2022 di mana salah satu tuntutan, yaitu tuntutan pencabutan kebijakan SSPI sebelumnya, belum dapat diterima oleh Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan, Pengabdian Kepada Masyarakat, dan Alumni, Dr. Arie Sujito, S.Sos., M.Si., dengan alasan kebijakan tersebut harus ditangani Rektor UGM secara langsung. Audiensi bersama Rektor UGM, Prof. dr. Ova Emilia, M.Med.Ed., Sp.OG(K)., Ph.D., akhirnya dilaksanakan pada 17 Januari 2023. Dari pernyataan beliau, dapat disimpulkan hasil audiensi bahwa UGM akan menerapkan uang pangkal layaknya universitas-universitas lain. Sebagai upaya menyuarakan penolakan atas rencana penerapan uang pangkal itu, aksi demonstrasi mahasiswa pun digelar pada 13 Maret 2023.

Massa demonstrasi yang terdiri dari berbagai kluster, seperti Sains dan Teknik, Kesehatan, Agro, dan Sosial-Humaniora mula-mula berkumpul di San Siro Fisipol UGM. Massa kemudian bergerak dari Fisipol menuju Balairung UGM sambil menyanyikan yel-yel dan membawa spanduk bertuliskan slogan, “Universitas Gagal Merakyat”, “Ini UGM, Bung! Kerakyatan nomor satu!”, dan lain sebagainya.

Setelah tiba di Balairung UGM, massa dipersilakan duduk dan aksi simbolik bertajuk “UGM Mencari Bakat” pun dimulai oleh pembawa acara, Vivin dan Dedes. Keduanya menjelaskan latar belakang demonstrasi secara singkat sehabis menyelesaikan ucapan pembukaan yang ditujukan pada jajaran pimpinan UGM: uang pangkal diwacanakan sebab subsidi pendidikan yang diberikan negara dipotong sedemikian rupa sehingga UGM sebagai PTN-BH mengalami defisit dana pengoperasian. Mengasumsikan bahwa pembayaran uang pangkal merupakan prasyarat krusial yang menentukan diterima atau tidaknya seseorang sebagai mahasiswa baru UGM, maka keresahan muncul ketika mengingat kemungkinan hanya mereka yang berlatar belakang ekonomi berkecukupanlah yang mampu lolos. Selain itu, pernyataan Rektor UGM ketika audiensi pada 17 Januari 2023 pun telah menjadi concern tersendiri mahasiswa. Pemberian sumbangan yang diwajibkan tentu menjadi problematik. Universitas lain yang mewajibkan uang pangkal biasanya mematok nominal besar bagi para calon mahasiswanya. UGM yang digadang-gadang sebagai Kampus Kerakyatan seharusnya paham bahwa penerapan uang pangkal akan menyulitkan dan membatasi kesempatan calon mahasiswa dengan latar belakang ekonomi prasejahtera untuk dapat mengakses pendidikan tinggi.

Pembawa acara kemudian beralih pada persembahan utama “UGM Mencari Bakat” yang diisi serangkaian penampilan berpuisi, musikalisasi puisi, dan rapping. Penampilan pertama merupakan pembacaan puisi dari mahasiswa berpseudonim Sang Bayang. Ari Deres ada di urutan kedua saat menghadirkan musikalisasi puisi ke tengah-tengah massa dengan menyanyikan “Mosi Tidak Percaya” dari Efek Rumah Kaca. 

Sehabis itu, massa demonstrasi diberi kabar bahwa jajaran pimpinan UGM akan bergabung bersama mereka dan melakukan dialog. Berikut adalah nama-nama pimpinan UGM yang hadir di tengah demonstrasi: Prof. dr. Ova Emilia, M.Med.Ed., Sp.OG(K)., Ph.D. (Rektor UGM), Prof. Dr. Wening Udasmoro, S.S., M.Hum., DEA. (Wakil Rektor Bidang Pendidikan dan Pengajaran), Ignatius Susatyo Wijoyo, M.M. (Wakil Rektor Bidang Penelitian, Pengembangan Usaha, dan Kerja Sama), Dr. Arie Sujito, S.Sos., M.Si. (Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan, Pengabdian kepada Masyarakat, dan Alumni), Prof. Dr. Supriyadi, M.Sc. (Wakil Rektor Bidang Sumber Daya Manusia dan Keuangan), dan Arief Setiawan Budi Nugroho, S.T., M.Eng., Ph.D. (Wakil Rektor Bidang Perencanaan, Aset, dan Sistem Informasi). Beberapa aksi kesenian, seperti pembacaan puisi dengan judul “Kanibalisme Orang-Orang Kiri” dari seorang mahasiswa serta penampilan rap dari Maria dan Zaitun, masih terus berlanjut sebelum dialog dimulai.

Setelah pertunjukan rampung, perwakilan mahasiswa memandu dialog serta audiensi dengan mempersilakan siapa saja berkeluh kesah, menyuarakan kekhawatirannya, ataupun memberikan apresiasi. Prof. dr. Ova Emilia sebagai Rektor UGM pun kemudian merespons mahasiswa yang cemas apabila uang pangkal diwajibkan kepada semua kalangan dengan menyatakan, “Saya kira kesempatan ini merupakan satu hal yang sangat istimewa. Semua pimpinan hadir di sini. Kita semua memiliki concern akan pemikiran dan kekhawatiran adik-adik. Tentunya pada saat kita bertemu di sini ada satu hal atau prinsip dasar, yaitu status kita bersama-sama yang berada dalam satu rumah: Universitas Gadjah Mada. Apa yang kalian tanyakan tentulah wajib kita jawab dan wajib kita klarifikasi. Kita perlu mengklarifikasi informasi agar sesuai dengan apa yang dimaksudkan. Betul bahwa UGM ini termasuk universitas dengan status PTN-BH yang mendapatkan subsidi dari negara. Namun, bantuan itu semakin kecil. Bantuan itu tidak dapat mencukupi Biaya Kuliah Tunggal atau uang yang ditetapkan masing-masing universitas demi operasionalisasi perkuliahan. Kita memiliki defisit keuangan karena uang kuliah tersebut hanya menyumbang satu per tiga dari seluruh pemasukan UGM. Dengan demikian, kami ingin menerapkan konsep berkeadilan. Orang miskin yang perlu bantuan haruslah kita bantu. Jangan ada kata-kata, ‘Orang DO karena gak punya uang.’ Datanya begini: UKT tertinggi telah ditetapkan pada 10% dari populasi mahasiswa UGM. Data pun menunjukkan terdapatnya penghasilan orang tua yang mencapai 500 juta per bulan. Kita dengarkan dulu. Keliru kalau ada anggapan bahwa uang pangkal ini dikenakan untuk semua mahasiswa. Kita ingin buat UGM sebagai rumah nyaman bagi orang yang ingin belajar.” Sejauh dialog berlangsung, sebuah pernyataan tampak ditekankan berulang kali, yaitu berdasar pada data-data yang telah dikaji oleh pihak universitas, yang perlu membayar uang pangkal hanyalah 4% dari total mahasiswa UGM karena mereka berasal dari keluarga yang mampu sehingga mereka yang tak mampu tidaklah perlu membayar uang pangkal.

Prof. Dr. Supriyadi juga menjelaskan tentang keberadaan skema UKT unggul dan UKT bersubsidi, “Saya hendak menambahkan terkait skema UKT bersubsidi. Pemerintah menetapkan UKT I dan UKT II dengan nominal berurutan 500 ribu dan 1 juta sebagai kelompok yang mendapat subsidi 100%. Jadi, barang siapa yang UKT-nya tergolong dalam kedua kelompok itu, maka akan digratiskan. Sementara itu, yang berkemampuan membayar lebih akan diperkenalkan pada UKT luhur atau UKT yang besarannya sedikit lebih rendah dibanding UKT tertinggi masing-masing prodi saat ini. Ada juga UKT bersubsidi 75%, 50%, dan 25%. Ini skema yang lebih baik serta berkeadilan bagi mahasiswa baru dan akan diterapkan pada tahun 2023/2024. Selain itu, beasiswa-beasiswa lain akan tetap kami kawal agar kita bisa memberikan keringanan. Saat ini apabila ada yang kesulitan membayar biaya pendidikan, tak akan di-DO. Bisa diatur ke prodi. Nanti kita akan menyelesaikan masalah tersebut. Seperti apa yang dikatakan Ibu Ova, kita buat UGM jadi lebih baik, lebih aman, dan lebih nyaman.” Akan tetapi, sebuah pertanyaan dari pihak mahasiswa muncul terkait permasalahan pengisian SSPI 0 rupiah yang eror. Pertanyaan lainnya ialah terkait sistem pembayaran uang pangkal yang dianggap cuma kedok bagi ajang pelelangan kursi di mana calon mahasiswa yang membayar uang pangkal besar akan mendapat kesempatan yang lebih besar pula untuk diterima sebagai mahasiswa UGM. Jajaran pimpinan menjawabnya dengan berkata bahwa eror yang terjadi ketika pengisian SSPI sudah diatasi oleh tim yang disiapkan. Terkait isu pelelangan, wakil rektor menyatakan tidak ada yang namanya lelang-lelangan. Besar-kecilnya sumbangan tidak akan berpengaruh pada diterima atau tidak diterimanya calon mahasiswa. Lebih tepatnya, mahasiswa lolos terlebih dahulu dan apabila kemudian mereka mampu serta bersedia untuk membayar SSPI, maka dipersilakan, tetapi apabila tidak mampu, maka tidaklah menjadi perkara.

Di tengah-tengah dialog, intervensi dilakukan oleh perwakilan mahasiswa yang menanyakan persoalan terkait adanya unggahan informasi SSPU atau Sumbangan Sukarela Pendidikan Unggul di situs UM UGM. Dalam sebuah artikel yang menjelaskan detail UKT pihak universitas menyatakan bahwa terdapat SSPU yang diperuntukkan bagi mahasiswa jalur Ujian Mandiri tahun 2023. SSPU tersebut bernilai 30 juta rupiah bagi mahasiswa yang diterima pada kluster Saintek dan 20 juta rupiah bagi mahasiswa kluster Soshum. Selanjutnya, mahasiswa mendesak penjelasan dari jajaran pimpinan dan mengonfirmasi mengenai sudah tetap atau belumnya kebijakan penerapan SSPU itu.

Dr. Arie Sujito menjawab bahwa kebijakan pengadaan SSPU sudah tetap, tetapi mekanismenya belum dibentuk. Dengan kata lain, kebijakan tersebut masih dalam tahap analisis untuk menentukan siapa saja yang akan dikenakan SSPU dan yang tidak, mengingat di awal dikatakan bahwa hanya segelintir mahasiswa yang berkemampuan sajalah yang akan dibebankan uang pangkal. Perwakilan mahasiswa kemudian bertanya apakah mahasiswa bisa dilibatkan dalam proses perumusan mekanisme uang pangkal. Pihak universitas pun menyatakan bahwa mahasiswa akan diminta masukannya sekaligus akan diadakan pula diskusi-diskusi. Meski demikian, pihak mahasiswa merasa bahwa janji tersebut tak cukup. Lebih jauh, mahasiswa ingin pihak universitas memberikan jaminan yang lebih konkrit. Salah seorang wakil rektor, Prof. Dr. Supriyadi, M.Sc., berjanji apabila satu bulan ke depan tak ada gerakan pelibatan yang dilakukan, mahasiswa dipersilakan datang ke kantor pribadinya untuk menuntut secara langsung. Ia pun menegaskan bahwa tak perlu ada proses formal dalam pemberian jaminan.

Massa demonstrasi menyatakan apabila pihak universitas bersungguh-sungguh ingin melibatkan mahasiswa dalam proses perumusan kebijakan yang berefek signifikan bagi masing-masing pihak, maka jaminan “hitam di atas putih” perlulah diberikan agar tercipta rasa saling percaya satu sama lain. Jajaran pimpinan pada akhirnya didesak untuk melakukan penandatanganan MoU (memorandum of understanding) yang dibuat secara mendadak oleh mahasiswa dan keputusan pun terbentuk dengan kesepakatan bahwa mahasiswa pasti dilibatkan dalam penentuan hal-hal substansial dan teknis terkait penerapan SSPU ataupun nama lainnya.