Headlines

Psikologi Dalam Sastra: Menelusuri Kompleksitas Manusia dalam Tulisan

We don’t read and write poetry because it’s cute. We read and write poetry because we are members of the human race.

N. H. Kleinbaum, Tom Schulman,

Dead Poets Society

Seperti yang dinyatakan oleh Mr. Keating dalam Dead Poets Society, membaca dan menulis bukan hanya hiburan lucu semata. Literatur memuat perjalanan manusia yang menggembirakan ataupun membuat kalang kabut, sekaligus mengundang kita untuk melirik hasrat, keputusasaan, dan segala sesuatu di antaranya. Melalui artikel ini, mari kita jelajahi bagaimana sastra menuntun kita untuk melalui lika-liku angan dan tingkah manusia. 

Penggemar sastra mungkin setuju bahwa salah satu cara paling menarik untuk mengeksplorasi pikiran dan perilaku manusia adalah dengan membaca. Melalui sebuah novel, misalnya, kita diajak menari bersama bayang-bayang jiwa manusia. Pengalaman batin, pikiran, perasaan, emosi, dan introspeksi karakter yang terkandung di dalamnya menjadi referensi paling eksplisit tentang pikiran manusia (Yimer, 2019). Hal ini sekaligus menjadi alasan mengapa penulis perlu melakukan riset mendalam—untuk menghadirkan representasi yang berdasar.

Sebagai contoh, kamu dapat menari bersama bayang-bayang karakter Donna Tartt dalam The Secret History yang bukan hanya tinta di atas kertas, melainkan cermin yang merefleksikan kesalahan fatal manusia. Pada cermin lain, Hermann Hesse dalam Demian merefleksikan perjalanan sang aditokoh menuju individuasi dengan dihantui gelap dan terangnya sifat manusia. Kamu juga bisa menilik dampak dari perang dan besarnya kekuatan ilahiah yang merusak diri sang protagonis dalam The Poppy War karya R. F. Kuang. 

Satu lagi hal yang menjadi pengalaman umum penikmat sastra adalah saat menemui jiwa setiap karakter. Pembaca tidak hanya mengamati, tetapi menjadi tubuh yang turut mengalami betapa dalamnya kenyamanan dan kepedihan mereka, berlimpah dan tiadanya hasrat mereka, dan harga yang dibayar dari tintingan yang mereka ambil. Tindakan membaca menggugah kita untuk menghadirkan empati—elemen kunci pada penerapan ilmu pikiran dan perilaku manusia. 

Tak hanya dalam bentuk novel, syair-syair puisi juga dapat memberikan pengalaman istimewa. Fakta bahwa puisi telah menemani umat manusia sejak 4.300 tahun lalu menunjukkan adanya cengkeraman kuat pada kognisi dan emosi manusia (Wassiliwizky et al., 2017).  

Sejak kata-kata belum berupa tinta, penyair telah mengolah emosi mentah mereka dan menyajikannya dalam bentuk syair-syair penuh estetika yang bermakna. Wiracarita tentang harga yang harus dibayar dari kebesaran dan ambisi telah diperdengarkan dari mulut pendahulu ke nasabnya hingga akhirnya dituliskan oleh Homer dalam Iliad. Menuju dunia modern, Whitman, sang penyair demokrasi, menggemakan semangat Amerika dan merayakan individualisme sekaligus persatuan. Di belahan dunia lain, Chairil Anwar menggemakan suara kemerdekaan Indonesia serta mengobarkan semangat dan pemberontakan dalam bait-bait yang memanifestasikan hati manusia di zamannya. Pada ranah lain, gagasan feminisme dan pengalamannya tentang sukacita, rasa sakit, hingga keputusasaan disuarakan oleh Sylvia Plath melalui syair-syairnya. Sungguh menarik bagaimana mereka bersama-sama membentuk mozaik perjalanan umat manusia.

Namun, bagaimana persisnya sastra dapat melekat dengan “ilmu jiwa”? Sederhananya sastra sangat dekat dengan jiwa manusia karena pada hakikatnya baik penulis maupun pembaca adalah manusia. Melalui seni bercerita, penulis melibatkan khayalan dan pengalaman pribadi ke dalam narasi untuk menorehkan seluk-beluk tersembunyi dari dalam benaknya. Kemudian pada gilirannya, pembaca yang melibatkan diri dalam torehan itu akan memulai perjalanannya sendiri. Mereka akan melahirkan interpretasi yang tak seragam sebagaimana dipengaruhi persepsi dan pengalaman pribadi mereka yang beragam. 

Lantas, apa yang bisa kita dapatkan dari tindakan yang bukan hal lucu semata ini? Di setiap halaman kertas itu, kita menemukan kunci untuk membuka misteri pikiran dan tindakan sang narator. Kalau kita berkelana lebih jauh, mungkin rahasia penulis sendirilah yang kita ungkap. Jika cukup beruntung, kamu akan sampai pada lorong yang belum terjamah di mana sastra bertransformasi menjadi sebuah portal yang mengundangmu untuk menjelajahi kedalaman jiwamu. Lalu saat kita membenamkan diri dalam larik dan baris, kita tidak hanya menyaksikan, tetapi juga menghidupi kemanusiaanmu dan mereka bersama—seluk-beluk menakjubkan yang menjadikan kita sebagaimana adanya.

Referensi

Kleinbaum, N. H. (1989). Dead Poets Society. . Starfire.

Wassiliwizky, E., Koelsch, S., Wagner, V., Jacobsen, T., & Menninghaus, W. (2017). The emotional power of poetry: neural circuitry, psychophysiology and compositional principles. Social Cognitive and Affective Neuroscience, 12(8), 1229–1240. https://doi.org/10.1093/scan/nsx069

Yimer, D. M. (2019). On the Interaction Between Literature and Psychology. IEEE-SEM, 7(8), 155-167.