Headlines

Reverse Psychology

Mungkin kamu pernah membaca tulisan yang membuat kamu berpikir atau merasa aneh karena adanya sesuatu yang berlawanan.  Misalnya, dalam suatu perjalanan, di pinggir jalan ada spanduk bertuliskan, “Jangan lihat ke kiri, ada toko parfum,” atau di sebuah toko pakaian ada tulisan, “Jangan beli jaket ini!” Kamu mungkin berpikir bahwa semestinya pemilik toko parfum tersebut mengharapkan orang lain untuk melihat toko parfumnya yang berada di sebelah  kiri dan berbelanja disana sementara penjual pakaian menginginkan orang membeli jaket yang dijualnya. Tulisan yang kamu baca tersebut sebenarnya menerapkan konsep yang dalam psikologi dikenal dengan istilah reverse psychology atau psikologi terbalik. 

Reverse psychology merupakan salah satu teknik dalam hubungan sosial manusia yang memanfaatkan fenomena psikologi yang terjadi pada manusia. Teknik ini melibatkan perilaku atau tindakan yang sengaja dilakukan berbeda dengan hasil yang diinginkan. Reverse psychology berkaitan dengan kemampuan untuk membuat seseorang mengambil tindakan A (yang sebenarnya diinginkan) dengan memberi pilihan sebaliknya atau tindakan B. Reverse psychology sering juga disebut sebagai strategic self-anticonformity (SSA), yakni strategi persuasi ketika sumber pengaruh mengharapkan perilaku yang kontradiktif dari target (MacDonald et al., 2011). Dengan kata lain, ketika sumber pengaruh ingin target melakukan sesuatu yang diinginkan, maka sumber pengaruh justru mengajak hal yang sebaliknya.

Menurut penelitian MacDonald et al. (2011), strategi ini cukup berhasil. Reverse psychology ini dikaitkan dengan teori reaktansi Brehm. Menurut teori ini, seseorang dapat merasakan reaksi negatif atau ketidaknyamanan ketika diberi ajakan atau persuasi. Dengan demikian, ketika seseorang ingin memersuasi, bukannya mendapatkan apa yang ia inginkan, target justru memilih opsi sebaliknya. Nah, untuk mengatasi hal itu, digunakanlah strategi reverse psychology ini. 

Strategi reverse psychology ini banyak digunakan dalam bidang marketing, seperti contoh sederhana dalam paragraf pertama tulisan ini. Dalam dunia marketing, reverse psychology diartikan sebagai teknik pemasaran yang menyimpang dari teknik pemasaran yang biasanya (Sinha & Foscht, 2016). Penggunaan reverse psychology dilakukan karena dalam dunia marketing terkadang pemberian persuasi yang terus-menerus dapat menimbulkan kejenuhan bagi target. Iklan-iklan seperti di televisi dianggap berlebihan dan kurang dapat dipercaya karena dianggap berlebihan (Sinha & Foscht, 2016). Oleh karena itu, strategi reverse psychology digunakan untuk mengatasi permasalahan-permasalahan tersebut. Strategi ini dianggap inovatif dan menarik karena tidak memersuasi secara terang-terangan. Lebih dari itu, strategi ini tergolong murah, kreatif, dan dapat digunakan oleh pelaku bisnis kecil. 

Selain digunakan sebagai strategi marketing, reverse psychology juga dapat digunakan dalam kehidupan sehari-hari, misalnya dalam parenting atau pengasuhan anak. Contohnya ialah ketika orang tua menginginkan anaknya tidak naik pohon karena membahayakan keselamatannya, orang tua justru mengatakan “Naik terus, Nak. Naik terus …” Contoh lain adalah dalam bidang pendidikan. Seorang guru yang mengharapkan siswanya belajar terus agar sukses justru suatu saat berkata, “Berhentilah kamu belajar agar hidupmu gagal.” 

Walaupun kadang-kadang berhasil, penerapan reverse psychology ini harus hati-hati dan tidak disarankan dilakukan secara terus-menerus agar tidak menjadi bumerang. Efektivitasnya harus mendapatkan perhatian karena reverse psychology ditentukan oleh sejumlah faktor, seperti ketepatan waktu (timing), karakteristik, hingga kebutuhan orang yang menjadi sasaran. Ketika diterapkan pada orang-orang dengan emosi yang lebih intens dan memiliki energi tinggi, misalnya, reverse psychology cenderung akan lebih efektif daripada jika diterapkan pada orang-orang dengan sifat sebaliknya. Pada orang yang memiliki emosi tidak intens, teknik reverse psychology tidak memunculkan reactance, malah mungkin menjadi terinternalisasi.

Penerapan psikologi terbalik pun berpotensi menimbulkan konflik dalam hubungan. Dalam pendidikan anak di rumah tangga, misalnya, bisa jadi anak merasa dirinya dimanipulasi jika teknik tersebut terlalu sering dilakukan. Pada orang dewasa, menerapkan teknik ini memberikan efek yang cenderung lebih negatif sebab penerapannya terkesan manipulatif atau “mengakali” untuk membuat orang lain mau melakukan apa yang diinginkan dan orang akan cenderung kehilangan respek pada pelaku reverse psychology. Alih-alih memperkuat relasi, hal ini justru akan membuat hubungan menjadi renggang.

Dari penjelasan tersebut, tampaknya Anda dapat menerapkan reverse psychology dalam bidang-bidang tertentu dengan tetap memperhatikan situasi dan kondisi yang tepat. Agar penerapannya efektif, Anda harus memperhatikan ketepatan waktu (timing), karakteristik, dan kebutuhan orang yang menjadi sasaran.

Referensi 

Kompas Cyber Media. (2021, July 27). Jangan sering Terapkan Psikologi Terbalik pada Anak, Ini Sebabnya. KOMPAS.com. https://lifestyle.kompas.com/read/2021/07/27/162200020/jangan-sering-terapkan-psikologi-terbalik-pada-anak-ini-sebabnya?page=all

MacDonald, G., Nail, P. R., & Harper, J. R. (2011). Do people use reverse psychology? An exploration of strategic self-anticonformity. Social Influence, 6(1), 1-14. https://doi.org/10.1080/15534510.2010.517282

Sinha, J. I., & Foscht, T. (2016). Reverse psychology tactics in contemporary marketing. The Marketing Review, 16(3), 343-353. https://doi.org/10.1362/146934716×14636478977872