Headlines

Pulang

“Bagaimana? Sudah siap semua?”

 

Gadis itu mengeluarkan sebuah koper dan tote bag dari dalam kamar kosnya lalu menggendong satu buah ransel di punggung. “Sudah. Sudah semua kok.” Matanya memperhatikan seluruh barang bawaan yang sudah ia keluarkan. Mengira-ngira apakah masih ada yang kurang dari apa yang sudah ia siapkan. “Oh iya! Bantal leherku!” Gadis itu lantas kembali masuk ke dalam kamar kosnya dengan tergesa-gesa.

 

Lawan bicaranya terkekeh kecil mendapati sifat pelupa dari gadis itu. “Dasar.”

 

Gadis itu kembali keluar dengan bantal leher di tangan dan senyuman lebar yang menghiasi wajahnya. “Kalau enggak ada ini, nanti aku enggak bisa tidur.” Ucapannya lalu dibalas usapan di kepala oleh seseorang. 

 

Aish, Agys, jangan begitu. Nanti rambutku berantakan,” ujarnya dengan pipi yang menggembung sebal. Seseorang yang dipanggil Agys hanya tersenyum tipis.

 

“Ya, sudah, ayo berangkat. Nanti terlambat.” Ditariknya tas koper dan tote bag berukuran sedang itu ke bagasi mobil Agys. Pemilik tas berjalan mengikuti di belakangnya.

 

Selepas tertata rapi di bagasi, keduanya menuju ke depan mobil dan masuk. “Terima kasih, Agys.”

 

Laki-laki itu menoleh singkat dan tersenyum tipis sembari menyalakan mesin mobil, bersiap untuk melaju. “Yakin sudah semua, kan?”

 

Sudaaah.”

 

“Barangkali lupa lagi. Seperti semester lalu.”

 

Astagaaa, masih saja diungkit.” Perempuan itu lalu bersedekap dada dengan raut wajah sebal. Kembali berputar memori dirinya yang terlupa membawa tote bag berisikan oleh-oleh. Memang cukup merepotkan, sih, harus kembali lagi untuk mengambilnya. Beruntung saat itu tidak terlambat. “Aku jamin enggak akan ada yang tertinggal. Sudah semua tahu.”

 

“Oke, oke, Binar. Percaya, deh. Berangkat sekarang, ya?”

 

Yuhuuu. Let’s gooo!

 

Mobil mulai bergerak dan mereka pun berangkat meninggalkan rumah kos Binar. Jalanan tampak cukup lengang di pagi ini. Tidak banyak kendaraan yang bepergian di jam-jam ini. Terlebih ini adalah hari Minggu. 

 

Agys memulai kembali percakapan, “Kereta berangkat jam berapa? Jam delapan?”

 

“Iya. Sengaja cari yang pagi supaya sampainya enggak malam-malam.”

 

“Sampai jam empat, ya, kurang lebih? Dijemput orang tua, kan?”

 

“Iya. Aman, kok, ehehe.” Binar menoleh ke arah Agys yang fokus menyetir. “Kamu habis antar aku ke stasiun mau ngapain?” 

 

Agys mengangkat bahunya, mengisyaratkan ketidaktahuan. “Entahlah.”

 

“Kamu warga lokal, sih. Enak, enggak perlu balik kampung.” 

 

Agys melirik sekilas gadis di sampingnya itu. “Kata siapa?” Pandangannya kembali fokus pada jalanan di depannya. 

 

“Kataku.” Binar terdiam sejenak. “Iya, kan? Kamu enggak perlu kangen Ayah-Bunda. Aku sendiri kangen banget sama Mama dan Papa. Sama adikku juga.” 

 

“Iya kali,ya?” ujar Agys ragu. 

 

“Iya laaah.”

 

Keduanya terdiam sejenak memperhatikan sekelilingnya sampai Binar berkata, “Aku enggak nyangka semester tiga sudah selesai. Berat, enggak, menurutmu?”

 

“Semester tiga? Cukup berat, sih.”

 

Binar menghela napas dalam dan merilekskan posisi duduknya. Ia berucap dengan lirih. “Buatku, sih, berat banget.”

 

Agys menoleh dan membawa tangannya untuk mengusap pelan pucuk kepala Binar. “But, you did great.”

 

Did I?” Binar memandang Agys dengan penuh tanya. 

 

“Iya.”

 

Okay, I did great.” Senyum pada bibirnya merekah. “Semester tiga itu, ya, gila. Tugas banyak banget, event-event bertebaran, ditambah aku sakit terus.” 

 

“Terus evaluasinya apa?”

 

Binar tertawa ringan. “Ikut event semampunya aja. Jangan kalap.” Agys ikut tersenyum.

 

“Dan jaga kesehatan. Jangan berlebihan.” Agys melanjutkan. 

 

“Iya … iya,” balas Binar. “Liburan ini aku mau santai-santai di rumah. Rewards karena sudah kerja keras di semester tiga.”

 

“Boleh.”

 

“Agys.” Binar memberi jeda. “Main, yuk, ke Jakarta. Nanti aku ajak jalan-jalan.”

 

Agys tersenyum. “Boleh. Lihat nanti, ya.”

 

Binar lantas memalingkan wajah dan memilih untuk menatap jalan dari jendela di sampingnya. Perjalanan sudah hampir usai sebab stasiun sudah terlihat oleh mata. Rasanya sulit untuk mendeskripsikan perasaan di hatinya. Pulang ke rumah adalah bagian yang sudah ia nanti-nantikan. Namun, rasanya sulit. 

 

***

 

Jika perasaan Binar sukar dideskripsikan, milik Agys sudah pasti tak rela. Tak rela karena Binar pulang di minggu yang sama setelah UAS selesai. Maksudnya, kenapa tidak minggu depan saja? Langsung pulang saat UAS selesai itu terlalu cepat, kan?

 

Kini mereka berjalan beriringan di stasiun. Binar dengan ransel dan tote bag di tangannya serta Agys dengan tas koper milik Binar yang ia bawakan. Keduanya berjalan mendekat ke pintu masuk.

 

“Agys, terima kasih, ya, sudah mengantar.” Binar memelankan langkahnya dan berjalan tepat di samping Agys. 

 

“Iya, sama-sama. Hati-hati, ya. Jangan lupa makan siang di kereta,” balas Agys. “Kamu ke sini lagi bulan Februari?”

 

“… Iya.”

 

Agys merengut. “Yah, Jogja jadi sepi. Teman-teman yang lain juga pulang.”

 

“Makanya ayo ikut aku ke Jakarta.” Binar mengajak dengan senyum lebarnya.

 

“Kalau aku ke Jakarta, nanti dijemput, kan?”

 

“Iya dong!”

 

“Diajak main, gak?”

 

“Iya, lah!”

 

Mereka telah sampai di pintu masuk stasiun. Suasana di stasiun pagi ini cukup ramai. Rupanya memang banyak yang memilih untuk bepergian pagi-pagi begini. Binar hanya tinggal masuk dengan tiketnya lalu tugas Agys sudah selesai.

 

Agys memperhatikan Binar yang tengah melihat orang-orang masuk ke dalam stasiun. Sepertinya di dalam stasiun sudah ramai dengan orang-orang. Dalam pikirannya pun ramai dipenuhi dengan pikiran-pikiran absurdnya sendiri. 

 

Agys berdeham. “Mau masuk?”

 

Binar lantas menoleh. “Enggak apa-apa?”

 

“E-eh.” Ragu. Agys ragu harus mengatakan apa. “Iya, masuk saja. Memangnya kenapa?” Padahal bukan itu yang ingin ia sampaikan. 

 

Tatapan Binar tampak sedikit meredup. “Iya.” Binar tersenyum tipis. “Terima kasih, ya, sekali lagi hehehe.” 

 

“Iya, sama-sama, Binar.” Ia balas dengan senyuman pula.

 

“Dua bulan, loh. Kita enggak ketemu dua bulan,” lanjut Binar dengan menunjukkan dua jari tangannya. 

 

“Iya, nanti aku main ke rumahmu, ya.”

 

Senyum Binar merekah lebar. “Okay! Aku tunggu.” Diambilnya tas kopernya dari tangan Agys. “Aku masuk sekarang, ya.”

 

Agys membalas dengan anggukan. Ditatapnya punggung Binar yang berjalan pelan ke arah pintu masuk. Tangan Agys terangkat ragu ingin meraihnya. Berjarak lima meter, Binar mendadak menoleh. Tatapannya mengisyaratkan tanda tanya. Agys menggeleng pelan dan melambaikan tangan pertanda perpisahan. Binar tersenyum dan akhirnya meninggalkan Agys sendirian di luar stasiun. Punggung Binar yang tadinya terlihat jelas kini tak lagi tampak. Wujudnya sudah hilang ditelan kerumunan orang-orang di dalam sana.

 

Agys tertinggal dengan perasaan kesal yang berkecamuk. Pikirnya, sayang sekali. Sayang sekali ia tak berani berucap apa-apa. Padahal belum tentu ia akan bertemu dengan Binar dalam waktu dekat lagi. Sebetulnya sesulit apa, sih, mengatakan perasaan suka? Bagi Agys, rasanya sulit sekali.

 

Baru beberapa menit lalu hadirnya ada di sini. Namun, sekarang Binar sudah tak dapat ia pandangi lagi. 

 

Agys berpikir, “Apakah ada yang berbeda jika ia menyatakan perasaannya sebelum Binar pergi?”

 

“Ah, sial. Harusnya aku peluk sebentar.” Nada suaranya tampak kesal. “Sepertinya harus menunggu semester depan. Jadi, tolong tunggu aku,ya, Binar.”

 

Laki-laki itu mengacak rambutnya frustrasi. Memutuskan untuk segera kembali dan meninggalkan stasiun hari ini. 

 

Ia kembali sendiri. Rasanya begitu sepi dan entah kenapa sedih sekali. Beginilah rasanya bila libur semester datang bagi orang yang tak perlu pulang.

 

“Iya, sih, enggak kangen Ayah-Bunda. Tapi, kan, kangen kamu, Binar.”

 

—end.

 

Penulis

Deandra Maura AE